Budaya politik lokal sampai dengan saat ini diyakini masih bersifat parokial di satu pihak dan kawula di pihak lain. Sebagian besar masyarakat lokal masih jauh tertinggal dalam hak dan kewajiban politiknya akibat pengalaman politik masa lalu, seperti imperialisme, feodalisme dan patrimonialisme. Hanya sebagian kecil elite politik, dan masyarakat (perkotaan) -- terbanyak di Jawa -- yang sudah memiliki budaya partisipan, karena ditopang oleh kemampuan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi.
Tipe budaya politik parokial kaula ini berkecenderungan melahirkan kecenderungan sikap dan perilaku yang sangat militan ketimbang toleran. Dalam tingkat militansi yang tinggi, perbedaan tidak diarahkan pada usaha musyawarah untuk mufakat, tetapi (bahkan) dianggap sebagai pertentangan pendapat dan keyakinan. Masalah perbedaan sering ''dipribadikan'' sehingga bersifat sangat sensitif, dapat membakar emosi dan menimbulkan konfrontasi.
Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, kalangan pemerintah dan wakil rakyat, baik di Pusat maupun Daerah, harus mengambil langkah-langkah strategis guna mewujudkan budaya politik demokratis/partisipan, yang mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratis dan stabil. Kepentingan dan aspirasi rakyat harus menjadi pusat perhatian dalam pengambilan kebijakan pemerintah, sebab kalau tidak demikian rakyat akan mengalami deprivasi, sehingga menimbulkan kekecewaan.
Besar kemungkinan rakyat tidak memilih pemimpin yang dianggap tidak aspiratif dan reponsibel. Sebaliknya, kalau rakyat merasa tidak berkompeten untuk terlibat dalam proses politik, maka implikasinya peranan pemerintah dalam penyelenggaraan negara menjadi sangat dominan. Pada kondisi demikian, rakyat hanya menjadi sasaran kebijakan pemerintah dan menjadi subjek yang dapat dimanipulasi untuk kepentingan pemerintah.
Dalam studi yang dilakukan oleh Almond dan Verba ditemukan bahwa negara-negara yang mempunyai budaya politik yang sudah matang akan menopang demokrasi yang stabil. Sebaliknya, negara-negara yang memiliki derajat budaya politik yang belum matang tidak mendukung terwujudnya demokrasi yang stabil. Kematangan budaya politik tersebut ditunjukkan dengan peluang yang diberikan oleh negara kepada masyarakat untuk mandiri, sehingga memiliki tingkat kompetensi yang tinggi.
Demokratisasi dan budaya politik demokratis hanya bisa diciptakan setelah melalui proses sosialisasi politik. Proses ini mewariskan berbagai nilai politik dari satu generasi ke generasi berikutnya, lewat berbagai agen, seperti keluarga, teman sepergaulan, sekolah/perguruan tinggi, dan media massa yang menghasilkan individu mandiri. Walau demikian, demokratisasi yang kuat dan meluas serta perwujudan sistem politik yang demokratis dan stabil, tidak akan pernah muncul, bila budaya politik kita masih didominasi oleh pola hubungan yang bersifat hirarkis, patronage serta gejala neo-patrimonialisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar